Sidoarjo, Kampus Ursulin – Sanmaris, halaman parkir Kampus Santa Maria Surabaya yang biasanya lengang karena hari libur siswa, guru dan karyawan, di hari Sabtu tanggal 27 Juli 2024 ini tampak penuh dengan kendaraan. Ternyata pada hari tersebut, seluruh tenaga pendidik Yayasan Paratha Bhakti berkumpul bersama di aula lantai 4 untuk mengikuti kegiatan In House Training tentang mendalami karakter generasi Z bersama tim dari Jabar Masagi.
Suster Noorwindhi Kartikadewi, OSU selaku Ketua 2 membuka kegiatan dengan memberikan sambutan dengan penuh semangat khas beliau. Beliau menyampaikan bahwa perubahan yang terjadi dewasa ini bukanlah perubahan yang linier melainkan eksponensial. Peserta didik yang secara umum adalah anak-anak generasi Z mengalami hal tersebut. Sayangnya mereka rentan terhadap hal-hal negatif yang mengikuti berbagai perubahan. Di sinilah peran para pendidik untuk mendampingi mereka dalam belajar menghadapi perubahan. Namun ternyata itu bukan hal yang mudah karena adanya gap generation antara pendidik dan peserta didik dan kurang dalamnya pengenalan pendidik akan karakter generasi peserta didik. Berangkat dari hal tersebut, maka Yayasan Paratha Bhakti mengundang tim dari Jabar Masagi untuk membantu para pendidik mampu mendampingi peserta didik sesuai jamannya.
Program Jabar Masagi secara resmi diluncurkan oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil di Cirebon pada Rabu, 5 Desember 2018. Lahirnya Jabar Masagi dilatarbelakangi akibat terus berkembangnya teknologi, yang berdampak pada derasnya arus informasi yang beredar terutama di media sosial yang dapat berpengaruh pada kondisi psikologis para pelajar. Masagi adalah filosofi Sunda yang singkat-padat namun memiliki makna yang mendalam. ”Jelema Masagi” artinya sempurna. Filosofi ”Masagi” yaitu bagaimana berproses menjadi manusia yang memiliki pribadi yang kokoh, ajeg atau seimbang dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Masagai berasal dari kata pasagi yang artinya “bentuk persegi”, “segi empat” atau “bujur sangkar”. Bentuk bangun seperti itu memiliki empat sisi yang sama dan seimbang. Oleh sebab itu benda yang memiliki bentuk demikian tidak pernah menggelinding atau bahkan tidak mudah goyah karena posisinya tegak kokoh ditopang oleh sudut atau siku-siku yang kuat. Metafor itulah yang hendak diterapkan terhadap peserta didik yakni membentuk manusia yang masagi, yang berpengetahuan atau serba tahu serta serba bisa, tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh apapun, dan tentu saja hampir tidak memiliki kekurangan atau sempurna.
Kegiatan yang bertajuk “Seni melayani : Memanusiakan Manusia” ini mengundang 2 narasumber dari tim Jabar Masagi. Kang Prima, narasumber yang pertama, mengingatkan kembali tentang bahwa siswa menjadi pusat, fokus dan alasan utama segala proses pendidikan. Beliau juga memberikan insight bahwa siswa secara bertahap mengalami perubahan tidak hanya fisik, namun juga emosi dan cara berpikir. Selain itu yang perlu diingat bahwa mereka sedang mengalami ledakan/luapan energi yang berlebih sehingga pendidik perlu membantu mengarahkan energi tersebut pada hal yang benar dan sesuai. Di bagian akir sesinya, beliau juga menyampaikan bahwa guru mempunyai berbagai peran bagi siswa, mulai dari sebagai pendamping, sebagai mentor, sebagai konselor dan sebagai desainer perubahan perilaku.
D sesi selanjutnya Teh Dini, narasumber yang kedua, mengajak guru untuk flashback melihat pengenalan akan diri sendiri. Menurut beliau pengenalan (dan penerimaan) diri yang dalam akan membantu guru dalam proses mendampingi peserta didik. Guru yang belum selesai dengan dirinya akan menemukan kesulitan dalam mendampingi orang lain (peserta didik). Melalui kegiatan mengenal jenis-jenis emosi dan menggambar Trapesium usia, para pendidik diajak untuk melihat emosi yang dialami dan berbagai pengalaman yang memunculan emosi tersebut. Kegiatan sharing dan berbicara dengan diri sendiri di akhir sesi memperkuat dan diharapkan mampu membantu guru untuk lepas dari pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami di masa lalu dan siap mendampingi peserta didik dengan semangat yang baru.
Di akhir sesi, Kang Prima mengingatkan bahwa para guru harus berubah karena memang jaman dan situasi sudah lebih dulu berubah dengan cepat. Para guru hendaknya penuh kesadaran (akan situasi yang berubah), menjauhkan diri dari kenyamanan dan mulai melangkah secara bertahap beradaptasi dengan perubahan tersebut agar mampu membantu siswa bertumbuh secara utuh. Tidak hanya bertumbuh kognitifnya, melainkan juga kepribadian dan fisiknya.
Hatur nuhun, Kang Prima dan Teh Dini.
Penulis : Nicolaus Henry Supriyanto